Rabu, 11 Februari 2015

Muslim Produktif

ditulis oleh M.As'ad Mahmud. Lc
Al-wajibat aktsaru minal awqat. Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. Ini fakta tak terbantahkan. Terutama karena kita selalu mengkorelasikan kata “kewajiban” dalam bingkai dakwah. Yang segera tergambar adalah rentetan amal yang melampaui usia manusia, dan bahkan sambung menyambung lintas generasi.
Di titik inilah, Imam Syahid Hasan Al bana memberikan penyadaran, “wahai pemuda, jadilah kalian kaum yang senang beramal, bukan senang berjidal”, serunya.
Lebih serius lagi, ketika amal tidak sebanding dengan iklan dan propagandanya, maka akan menjerumuskan pada sejumlah sifat syaithani; riya`, nifaq dan kepura-puraan. Ini yang tak boleh terjadi pada seorang mukmin.
Konsep amal menuntut kita menjadi manusia yang produktif. Pemaknaan terhadap produktivitas ini tidak sesempit kaum kapitalis yang mengukurnya dengan capaian materi. Tapi secara prinsip kita memahami bahwa amal adalah buah dari keimanan, dan secara normatif kita memahami bahwa produktivitas menunjukkan kualitas keimanan. Maka di ranah produktivitas ini, sejarah menelurkan ibrahnya kepada kita satu per satu; Usamah bin Zaid yang memimpin pasukan perang di usia dua puluhan, Imam Abu Hanifah yang hafal al qur`an di usia sembilan tahun, atau Imam Syafi`i yang meletakkan dasar-dasar ushul fiqih dan karya-karya monumental pada bentang umurnya yang hanya mencapai angka lima puluhan.
Dalam tataran praktisnya, setiap kita bisa merasakan betapa kekuatan amal sangatlah dipengaruhi sejauh mana kekuatan hubungan kita dengan pemilik amal itu sendiri, Allah SWT. Saat iman berada dalam kondisi puncak, niscaya jasad tak akan lelah menuruti kemauannya. Sebaliknya, saat kualitas ruh sedang terjun bebas, maka badan sehat nan kuat pun menjadi nirpotensi. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW bersabda, dua jenis kenikmatan yang paling banyak menjerumuskan manusia adalah waktu sehat dan waktu luang. Sebab ketika dua kenikmatan itu terkumpul menjadi satu, akan bisa sangat mematikan produktivitas. Bayangkanlah profil seseorang yang beliau gambarkan itu. Seseorang yang berbadan sehat tapi tidak punya aktivitas. Apa yang kemudian menari-nari dalam pikirannya? Lalu kita pun menjadi mengerti mengapa tingginya angka pengangguran selalu berbanding lurus dengan tingginya angka kriminalitas. Maka, jebakan-jebakan mematikan di sepanjang medan amal haruslah ditutup rapat.
Ada lagi yang penting. Kita butuh panduan, tahapan atau maratib dalam beramal. Pertama, agar amal kita menjadi efektif dan produktivitas kita mencapai titik maksimum. Kita sepenuhnya menyadari bahwa waktu kita sangat terbatas. Sehingga, salah satu cara mengakali keterbatasan itu adalah dengan berjamaah dalam manhaj yang jelas. Ini logis saja sebenarnya, tapi faktanya tak dipahami oleh banyak orang. Ada single fighter, pemain tunggal yang melenggang sendirian. Untuk satu sampai lima tahun barangkali bisa bertahan. Tetapi ketika capaian-capaian amal tidak lagi memakai standar umur manusia, apalah artinya satu dua orang tanpa jaringan pendukung? Atau ada juga sejumlah orang yang berperilaku mirip, tapi sejatinya tak pernah satu dalam gerak langkah. Bukan apa-apa, mereka menegasikan fungsi manhaj, itu saja masalahnya. Jadilah amalnya menjadi sporadis dan tidak terukur.
Kedua, agar laju amal kita tidak salah arah. Ini juga sekaligus menghindarkan agar jangan sampai seorang muslim menemui dirinya dalam kondisi “tidak tahu apa yang harus dikerjakan”. Faktanya, dalam konteks amal, realitas kehidupan kita sering memanggungkan lakon ironis, seseorang yang sudah berlelah-lelah melakukan amal yang banyak, tapi sejatinya tidak berarti apa-apa dalam konteks membangun peradaban umat. Atau malah ada juga yang memilih jalan nekat dengan menebar teror dan kekerasan. Akibatnya, bangunan pencitraan Islam yang sudah susah payah disusun, hancur dalam sekejap. Dan kita mesti menyusunnya kembali satu persatu.
Konklusinya, dalam konteks amal, kita tidak saja dituntut berbuat sebanyak mungkin, tetapi berbuat yang banyak, baik terkoordinir dalam bingkai yang benar dan menuju arah yang benar pula. Sulit dimengerti? Pastilah tidak bagi yang sudah memahami makna berjamaah. Wallahu a`lam. (usb/dakwatuna)

0 comments:

Posting Komentar

channel kita